Penyesalan di Ujung Lorong
Malam itu, bangsal lantai tiga Rumah Sakit X tampak lengang. Perawat Sita baru saja menyelesaikan laporan shift sore ketika seorang pasien lansia, Pak Hardi, meminta izin ke kamar mandi. Usianya sudah 78 tahun, tubuhnya lemah karena pneumonia yang dideritanya. Beberapa hari terakhir, ia sering mengeluh pusing.
Seharusnya, setiap pasien lansia atau pasien dengan kondisi lemah harus menjalani assessment risiko jatuh sebelum diperbolehkan bergerak sendiri. Tapi entah karena bangsal sedang sibuk atau karena semua orang terburu-buru, assessment itu tidak dilakukan. Tidak ada catatan di rekam medisnya bahwa Pak Hardi berisiko jatuh. Tidak ada instruksi bagi perawat untuk selalu mendampinginya.
Pak Hardi merasa cukup kuat untuk berjalan sendiri. Perlahan ia turun dari tempat tidur, berpegangan pada meja di sampingnya. Langkah pertamanya goyah, tapi ia tetap melangkah, percaya bahwa ia bisa sampai ke kamar mandi tanpa bantuan.
Lalu, semuanya terjadi begitu cepat.
Ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya ambruk ke belakang, kepalanya membentur lantai dengan keras. Suara benturan itu menggema di lorong, cukup keras untuk membuat perawat di nurse station bergegas datang.
Darah menggenang di lantai. Pak Hardi tidak sadarkan diri.
Tim medis bergerak cepat. Dokter jaga dipanggil, pasien dilarikan ke ICU. Diagnosis menunjukkan hematoma subdural, perdarahan di otak akibat benturan keras. Keluarganya diberi tahu bahwa kondisinya kritis dan memerlukan operasi segera. Tapi karena usia dan penyakit penyerta, tubuhnya tidak lagi mampu bertahan. Keesokan paginya, Pak Hardi mengembuskan napas terakhir.
Duka menyelimuti keluarga. Kesedihan berubah menjadi pertanyaan. Mengapa Rumah Sakit X membiarkan Pak Hardi berjalan sendiri? Mengapa tidak ada yang memastikan keselamatannya?
Audit internal dilakukan. Tidak ada assessment risiko jatuh di rekam medis. Tidak ada dokumentasi bahwa perawat telah mengevaluasi apakah Pak Hardi butuh alat bantu atau harus selalu didampingi. Semuanya hanya asumsi, sampai akhirnya menjadi tragedi.
Kasus ini berkembang menjadi sengketa hukum. Reputasi Rumah Sakit X mulai dipertanyakan. Media mulai meliput.
Dan seperti biasa, semuanya terasa terlambat. Tragedi ini seharusnya tidak perlu terjadi. Jika prosedur keselamatan pasien diterapkan dengan disiplin, jika ada sistem peringatan untuk pasien berisiko jatuh, jika edukasi kepada keluarga pasien lebih baik, jika perawat tidak terbebani dengan terlalu banyak pasien dalam satu shift—mungkin Pak Hardi masih bisa tersenyum pagi itu.
Tapi nyawa tidak bisa dikembalikan. Yang bisa dilakukan sekarang adalah belajar, memastikan bahwa kesalahan ini tidak terulang. Karena di balik setiap insiden, ada satu hal yang lebih menyakitkan dari sekadar kehilangan: penyesalan.
PT. Ligar Mandiri Indonesia
Perum Pondok Pakulonan
Blok H6 No. 7 Alam Sutera Tangerang Selatan
HP.
0857 1600 0879
Email : Bpcreator02@gmail.com
© 2025 - Ligar Mandiri Consulting - Menuju Rumah Sakit Kelas Dunia
Add new comment